Deuterokanonika Bagi Katolik
Seputar Katolik Vol. 4 oleh Keluarga Kecil 2017
Halo KUKTEKers, sebagai orang Katolik, kita tentu mengetahui bahwa kita memakai dan mengakui Kitab Deuterokanonika sebagai bagian dari Alkitab yang berfungsi sebagai panduan dasar iman kita. Namun, sayangnya hal ini ternyata telah banyak menimbulkan kesalahpahaman bagi antara orang banyak, terutama bagi kita yang beriman kepada Tuhan Yesus. Kurangnya pengetahuan kita sebagai umat Katolik sering kali menjadi penyebab kesalahpahaman tersebut, kita mempertanyakan apakah Kitab Deuterokanonika juga bisa dapat dijadikan pegangan oleh kita untuk menempuh perjalanan iman seperti yang diakui oleh Gereja Katolik sekarang.
Dalam edisi SEPIK kali ini, kita akan membahas apa itu Kitab Deuterokanonika dan apa saja alasan-alasan konkret yang bisa menjadikan kitab ini sebagai bagian dari Perjanjian Lama di Alkitab kita. Sebagai orang Katolik, tentu hal ini menjadi penting bagi kita untuk mengetahui dan mempelajari sejarah umum Katolik sehingga kita bisa mengetahui gambaran apa itu Kitab Deuterokanonika dan bagaimana bisa menjadi bagian dari Alkitab kita.
Kitab Deuterokanonika adalah buku-buku dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Deuterokanonika berarti penetapan Kanon (norma) untuk kedua kalinya karena hanya didapati dalam versi Septuaginta. Dengan kata lain, Kitab Deuterokanonika memang merupakan satu kesatuan dengan Kitab Perjanjian Lama. Septuaginta merupakan kitab yang memuat Perjanjian Lama yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani pada tahun 250-125 BC. Di dalam Kitab Perjanjian Lama itu, terdapat Kitab Tobit, Yudit, tambahan kitab Ester (Est. 10:4-16:24), Kebijaksanaan, Sirakh, Barukh, tambahan surat Yeremia (Barukh 6), tambahan kitab Daniel (Dan. 13-14), 1 Makabe, dan 2 Makabe yang sekarang dikenal dengan Kitab Deuterokanonika. Kitab inilah yang dipakai oleh Gereja Katolik sekarang.
Terdapat pandangan bahwa Kitab Deuterokanonika ini merupakan tulisan-tulisan yang “Apokrif” bagi orang-orang yang menentangnya. Mengenai pendapat tersebut, Santo Agustinus menjelaskan bahwa sebaiknya penggunaan “Apokrif” ini tidak digunakan karena bisa memberikan interpretasi yang berbeda. “Apokrif” berarti tidak jelas asal asulnya yang berkonotasi dengan buku yang tidak diketahui pengarangnya atau buku yang keasliannya dipertanyakan. Hal tersebut membuat perkataan “Apokrif” secara umum diartikan sebagai sesuatu yang salah, buruk, atau sesat. Oleh karena itu, sebaiknya penggunaan kata ini tidak digunakan karena pada faktanya Kitab Suci ini terdapat dalam Perjanjian Lama yang artinya juga dipegang oleh Kristus dan para rasul.
​
Hal yang sama juga terjadi pada St. Hieronimus, pada awalnya, Ia seolah tidak menganggap kitab-kitab Deuterokanonika sebagai bagian dari kitab suci, namun pada akhirnya ia memasukkan kitab-kitab tersebut dalam terjemahan kitab Vulgate yang dibuatnya. St. Hireonimus pada akhirnya mengakui kitab-kitab ini karena Ia menyerahkan keputusan tentang kanon Kitab Suci kepada Gereja, secara khusus kepada Paus Damasus, yang pada waktu itu merupakan Paus diantara kalangan jemaat. Ia melakukannya karena Ia mengakui supremasi Paus sebagai penerus Rasul Petrus.
Jadi, pada intinya Gereja Katolik tidak pernah ‘membuang’ satu kitab-pun dari kanon Kitab Suci. Dalam selang perjalanan waktu sampai penetapan kanon Kitab Suci terdapat sedikit perbedaan manuskrip Septuaginta, walaupun secara umum sama, tidak berarti bahwa Gereja Katolik mengambil salah satu versi terjemahan Septuaginta karena ini merupakan kanon kedua setelah Gereja Katolik menyusun dan menetapkan kanon yang pertama, yakni Kanon Kitab Suci. Dengan kata lain, sampai sebelum ditentukannya kanon Kitab Suci oleh Gereja Katolik, tidak ada kanon Septuaginta.
Referensi: